VOC Dalam Sejarah Buton

KAPTEN Apollonius Scotte atas nama Gubernur Jenderal Kompeni (VOC) mengadakan persekutuan abadi dengan Sultan La Elangi dari Buton pada tahun 1613. Kesultanan Buton terdiri dari pulau-pulau yang meliputi Buton, Muna, Kabaena, dan gugusan pulau Tukang Besi alias Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko), dan beberapa pulau kecil (seperti Pulau Makasar di Kota Baubau), serta wilayah daratan semenanjung Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang.
Buton adalah sebuah kerajaan yang terbentuk pada abad ke-14 atau 15. Kerajaan ini didirikan oleh para pendatang dari Johor. Pada masa-masa awal telah terjalin hubungan dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Ratu pertama kawin dengan Pangeran Sibatara dari Majapahit. Anak laki-laki Ratu Bulawambona, raja kedua, bernama Bataraguru. Ketika menjadi raja ketiga, ia mengunjungi keraton Majapahit. Demikian pula dengan putranya, Tuarade, raja keempat Buton, juga mengunjungi Majapahit.

 
Raja keenam memeluk agama Islam sehingga dengan demikian berubah dari kerajaan menjadi kesultanan. Maka Sultan pertama Buton adalah Sultan Murhum. Kesultanan ini berlangsung selama berabad-abad, hingga tahun 1960 dihapuskan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Pusat pemerintahan di Keraton Wolio (kini Kota Baubau).
Persekutuan “abadi” antara Buton dan Belanda (VOC) ditandai dengan kontrak 5 Januari 1613. Kapten Scotte, atas perintah Gubernur Jenderal Pieter Both, singgah di Buton untuk mengadakan kontrak dan persekutuan abadi dengan Raja Buton. Kontrak yang dilakukan atas nama Both dari pihak staten-general Pemerintah Belanda Serikat, Pangeran Oranje, sebagai Gubernur Belanda, dan atas nama pengurus VOC menyatakan Sultan sebagai “Raja Buton yang mahakuasa”, dengan beberapa ketentuan penting dalam persekutuan, diantaranya: Orang-orang Belanda akan membantu melindungi negeri serta warga Buton terhadap serbuan musuh, sedangkan Raja berjanji bahwa serdadu atau orang-orang Belanda lain boleh kawin dengan perempuan Buton.
Saya merasakan hari-hari di sana tidak ada yang lebih indah, dan mereka saya anggap sebagai rakyat yang sangat ramah, yang menjamu kami semua dengan apa saja yang mereka kehendaki,” demikian kutipan sebagian isi surat Pieter Both dalam suratnya kepada pengurus VOC. Sebagai lukisan kegembiraan setelah bertemu dengan Sultan Buton. (Bouwstoffen 1886:34-35, dalam Pim Schoorl 2003).
persekutuan abadi itu rupanya tidak bisa abadi, sebab mulai tahun 1633 sampai 1646 terjadi keretakan hubungan diantara kedua belah pihak. Keretakan ini antara lain dipicuh oleh ekspansi territorial Makasar. Buton terletak pada wilayah yang strategis dalam perjalanan dari Jawa dan Makassar ke Maluku, jantung produksi rempah-rempah di Indonesia. Karena itu. Kerajaan Buton, menurut Pim Schoorl dalam bukunya berjudul Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton (hal 75), Kerajaan Buton serupa bola bulu tangkis dalam suatu pertandingan antara Makassar, Ternate, dan VOC. Persahabatan dengan Ternate dan VOC berarti permusuhan dengan Makassar, dan sebaliknya.
Begitulah! Cukup banyak sejarah yang tercatat dalam persekutuan dan pergolakan dengan VOC, yang belakangan muncul aneka versi dengan satu kesimpulan, yakni Memojokkan (masyarakat) Buton. Persekutuan Buton dengan VOC tersebut dianggap sebagai sebuah kesalahan besar, tanpa mau melihat hal yang melatarbelakanginya.
Buton kalah secara politik. Segalah informasi yang berkaitan dengan VOC dan dianggap “menguntungkan” Buton ditenggelamkan di dalam negeri. Bahkan pada zaman pemerintahan Orde Baru, orang-orang Buton merasa dijadikan sebagai warga kelas dua di negeri ini. Dianggap “penghianat bangsa” karena pernah bekerjasama dengan Belanda.
Nanti Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan kebebasan informasi, pada tahun 2000-an, barulah lembaran-lembaran sejarah Buton itu diluruskan sehelai demi sehelai. Hasil penelitian Prof. Dr. J.W. Schoorl (guru besar pada Vrije Universiteit di Amsterdam) tentang kebudayaan Buton pada tahun 1981 dan 1984 baru diterbitkan dalam buku versi Bahasa Indonesia pada tahun 2003. Generasi muda Buton yang sudah berpendidikan memadai pun mengumpulkan berbagai tulisan yang terkait dengan masa lalu Buton, misalnya dengan terbitnya buku “Menyibak Kabut di Keraton Buton” pada tahun 2008.
Bukan hanya itu, generasi muda Buton, juga berupaya mengurai benang-benang kusut itu dalam berbagai bentuk tulisan, baik yang diterbitkan secara terbatas maupun melalui jaringan internet (baca Blog). Dengan satu harapan bahwa kerjasama antara Buton dan VOC kala itu bukanlah suatu yang perlu disalahkan hingga ditanggung dosanya oleh generasi Buton saat ini, melainkan dilihat dari sudut pandang yang komprehensip sehingga pada akhirnya bisa diterima secara akal sehat manusia.
Untuk memenuhi harapan demikian, maka Belanda sebagai negara yang masih menyimpan banyak bukti sejarah hubungan antara VOC dan Buton adalah tempat yang baik untuk menjadi tujuan studi, khususnya orang-orang Buton.
Akademisi Belanda pun mendorong orang-orang Indonesia untuk mempelajari secara mendalam tentang Buton. Seperti pengalaman Dr. Tony Rudyansjah, MA, seorang dosen di Universitas Indonesia, ketika mengikuti Program Pos Graduate Training in Anthropology di University of Leiden, Belanda, didorong oleh seorang dosennya untuk mengkaji Buton sebab belum ada etnografi tentang Buton yang tuntas dan mendalam. Setelah mendalami sejumlah teks dan naskah tentang Buton, Tony yang merupakan putra Banjarmasin Kalimantan, tertarik mengkaji struktur kekuasaan dan dinamika berbagai lapisan sosial di Buton.
Selama ini pemerintah Belanda telah memberikan beasiswa bagi putra-putri Indonesia, sebut saja beasiswa Stuned, Huygens (Scholarship Programme), RFP (Regular Fellowships Programme), UFP (University Fellowships Programme), SFP (Special Fellowships Programme) dan TSP (Jan Tinbergen Scholarships Programme). Melalui berbagai program beasiswa tersebut memungkinkan untuk kita belajar pada 1.400 program studi international yang tersebar di berbagai perguruan tinggi maju di Belanda, seperti Universitas Vrije – Amsterdam (tempatnya Prof Dr J.W. Schoorl, yang menulis buku Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton), Universitas Bibliotheek Leiden (tempat penyimpanan sejumlah surat-surat Kesultanan Buton dengan Belanda), Universitas Utrecht (tempat summer course dalam kompetisi blog ini), Universitas Erasmus Rotterdam, Universitas Radboud Nijmegen, Universitas Kerajaan Groningen, Universitas Amsterdam, Universitas Leiden, dan masih banyak lagi universitas lain yang tak kalah majunya. Lulusannya akan mendapatkan gelar gelar sarjana (S1), master (S2), PhD atau doktor (S3), diploma atau bersertifikat.
Berdasarkan hal tersebut maka Belanda sebagai negara tujuan studi tak diragukan lagi. Telah diakui reputasinya oleh dunia internasional karena mampu menunjukkan bahwa setiap alumninya memiliki kinerja yang sangat baik dimana pun mereka berada. Hal itu tentunya dikarenakan oleh sistem pembelajaran yang lebih baik, yakni melalui jalur universitas yang melatih mahasiswanya untuk menggunakan ilmunya secara mandiri dan jalur University of Applied Sciences (Hogeschool) yakni berorientasi ke praktek. Selain itu Belanda juga memiliki lembaga Institut Pendidikan Internasional  yang dirancang khusus bagi mahasiswa asing.
Sistem tersebut pada akhirnya memungkinkan bagi setiap orang mendapatkan pengetahuan dengan baik, yakni pengtahuan menyangkut aspek sosial, politik, budaya, dan teknologi, sebagai cerminan keragaman sekaligus identitas di kawasan benua Eropa, secara umum.
Orang Buton yang ingin meluruskan sejarah masa lalu, akan sangat lebih baik bila dapat menimbah ilmu dari “pohonnya’ secara langsung, di Belanda. Sebagai tempat penyimpanan bukti-bukti sejarah kejayaan masa lalunya. Ketika masih menjadi kerajaan dan kesultanan.

0 komentar: